CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH MONTOK PENARI JALANAN

CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH MONTOK PENARI JALANAN


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH MONTOK PENARI JALANAN , Hasrat-Bispak17 Seluruhnya orang didalamnya perlu berusaha dan berkorban supaya tak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pula memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, dan seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang berduka karena Bapak telah tak ada, namun juga kebingungan sebab beberapa waktu sesudah Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih broker judi yang berikan hutang pada Bapak. Kami gak miliki tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak butuh ijazah, tandingan sangat banyak. Pada akhirnya seusai lumayan lama mengamati bermacam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk manfaatkan keterampilan kami. Hanya modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau melalui tahun awalan kuliah, serta yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak enteng  cari uang secara sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang siap bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Selesai cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau sering helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memanglah merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun sejak dulu selalu mengajarkan dan memperingatkan saya buat menjaga badan biarpun lewat langkah simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya selalu mulus serta tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul  sich kalaupun dikatakan saya montok. Tak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus risau dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula cepat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Bingungnya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok semua omong saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang melihat."


Lambat-laun saya biasa pun memanfaatkan dandanan semacam itu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, sesaat jika nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, serta selendang. 


Tetapi memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak bisa melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja sebab begitu berduka. Kemungkinan tiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis serta saya pun harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu persoalan saya . Sehingga, 1 minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya cuman dapat ngomong maaf, dan sang ibu jadi ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, ujarnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH MONTOK PENARI JALANAN


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana tekniknya agar kelak kalaupun pulang sudah memiliki cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu cuman mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya mesti ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya kesal namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewaan. Kalaupun berjualan, saya nggak miliki apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu gak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Bila kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu lewat langkah semacam ini? Namun bila tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak mempunyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tak berani mengangkut kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang tunjukkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih tetap sangsi. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Jika tak mau ya udah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki berterus-terang ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu tadi disimpan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu dan pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya langsung mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pula menggenggam paha saya yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi gak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan terus terusan lihat sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama